Ittiba’ – Mencukupkan (Dalil)
“Al-Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya kemudian setelah tabi’in dia boleh memilih.” (Ahmad bin Hambal dinukil oleh Abu Daud dalam Masail)
Dalam riwayat lain, “…janganlah kamu bertakqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka. Apa saja yang datang dari Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya maka kamu ambil kemudian tabi’in, setelah itu seseorang boleh memilih.”, dalam riwayat lain,
Janganlah bertaqlid kepadaku, jangan pula bertaqlid kepada Malik, jangan pula bertaqlid kepada Asy-Syafi’i dan jangan pula kepada Al-Auza’i dan jangan pula kepada Ats-Tsauri. Dan ambillah dari mana mereka mengambilnya [kembali kepada dalil-dalil yang shohih].” (Dinukil oleh Ibnul Qoyyim dalam ‘I’lamul Muwaqi’in).
Pendapat Al’Auza’i, pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat dan dihadapanku semuanya sama, hanya saja yang dijadikan dalil adalah Al-Atsar (hadits Rasulullah).” (Dinukil oleh Ibnu Abdil Bar dalam Al-Jami’)
Imam Al Auza’i rahimahullah berkata,
“العلم ما جاء عن أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، فما كان غير ذلك فليس بعلم”
Artinya, “Sebarkan dirimu di atas sunnah, dan berhentilah engkau dimana kaum itu berhenti (yaitu para Shahabat Nabi), dan katakanlah dengan apa yang dikatakan mereka, dan tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan tempuhlah jalan Salafush Shalihmu (para pendahulumu yang shalih), karena sesungguhnya apa yang engkau leluasa (melakukannya) leluasa pula bagi mereka.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/29))
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata,
“اِتَّبِعُوا وَلَا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ”
Artinya, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi.” (Al-Bida’ Wan Nahyu Anha (hal. 13))
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ، فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ، أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانُوا أَفْضَلَ هَذِهِ الْأُمَّةِ، أَبَرَّهَا قُلُوبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللَّهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَإِقَامَةِ دِينِهِ، فَاعْرَفُوا لَهُمْ فَضْلَهُمْ، وَاتَّبِعُوهُمْ فِي آثَارِهِمْ، وَتَمَسَّكُوا بِمَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ أَخْلَاقِهِمْ وَدِينِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوا عَلَى الْهَدْيِ الْمُسْتَقِيمِ
Barang siapa di antara kalian ingin mencontoh, maka hendaklah mencontoh orang yang telah wafat, yaitu para Sahabat Rasulullah, karena orang yang masih hidup tidak akan aman dari fitnah, Adapun mereka yang telah wafat, merekalah para Sahabat Rasulullah, mereka adalah ummat yang terbaik saat itu, mereka paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/97)
Referensi: https://muslim.or.id/18935-siapakah-salafus-shalih.html