Air Mata di Bulan Ramadhan
Menarik topik khutbah jum’at harin ini di Masjid Greenlane, salah satu masjid Salafi yang saat ini menonjol, selain jamaah yang banyak di Masjid ini, ada satu ulama yang memikat saya, beliau adalah Abu Usamah at-Thahabi, beliau mualaf kulit hitam yang tumbuh di lingkungan yang keras yang kemudian menimba ilmu dan menjadi fuqaha yang disegani, menariknya pemahaman fiqih beliau sangat kontekstual dan kontemporer, walau ada sedikit hal saya memiliki pandangan lain, banyak hal yang dapat dipelajari dari penyampaian beliau.
Saya cukup sering mendengarkan ceramah beliau, dan di tahun 2015, Komunitas Indonesia di Inggris (KIBAR UK), mengundang beliau dalam KIBAR Spring Gathering 2015 yang bertempat di Birmingham yang memberi kesan tersendiri atas pemahaman beliau, yang kemudian saya berlanjut mendengarkan ceramah beliau baik di Masjid ataupun youtube.
Kenapa menarik?
Disaat saya sedang memahami tentang kompetensi individu, mental, indikatornya dan keterkaitannya, apa yang Al-Quran dan hadits sebutkan tentang hal ini, apakah pemahaman kita selama ini selaras dengan hikmah yang sudah dituangkan berabad lalu.
Jumat kali ini beliau memberi khutbah jumat tentang 7 golongan yang aka diberi kemudahan masuk surga, dan yang dibahas beliau adalah orang yang menangis karena Allah, disini beliau mengutip penjelasan bahwa yang menangis ini bukan hanya Muslim tetapi juga non-Muslim yang beriman kepada Allah, (mereka ada hingga hari kiamat dengan keimanan mereka) dan mereka semua mudah mengeluarkan air mata karena hatinya yang lembut dan mudah bergetar.
Rugilah kita jika mempersiapkan air mata hanya untuk malam 27 yang belum tentu kita dapatkan, masih ada banyak malam di bulan ramadhan untuk air mata kita, tetapi kemana air mata itu?
Apakah hati kita yang keras karena sifat dengki, jasad, stress, dsb menjadikan kita sulit untuk mengeluarkan air mata. Beliau sebutkan contoh sahabat radiyallahu Ibn Masud yang air matanya mengalir ketika rasul memintanya membaca Al-Quran, Rasulullah yang menangis ketika anaknya Ibrahim sakit, dan beliau memeluknya sambil menangis hingga wafatnya, ketika sahabat bertanya apakah anda menangis ya rasulullah, beliau mengatakan ini rahmat.
Hati kita yang keras ini pun kerasnya mengalahkan batu, disebutkan batupun mengeluarkan air mata karena rasa syukurnya kepada Allah, sedangkan kita manusia ketika melihat kemalangan, karib kerabat dalam kesusahan ataupun meninggal, tidak ada air mata yang keluar, sungguh yang kita bangga dengan ketegaran itu kita merugi, telah kehilangan rahmat Allah, hati yang lembut, air mata yang mengalir.
Sayapun tersentak, betapa banyak momentum tersia-siakan selama ini, betapa teledornya kita membiarkan hati yang bergetar ini mengeras, apakah bisa kita berharap sampai pada ciri orang mukmin yang bergetar hatinya ketika disebutkan nama Allah? sungguh kita telah lalai.
Beliau menyebutkan beberapa hal yang dapat menjadikan hati tidak mengeras, jihad kita melawan hawa nafsu, melawan syaitan yang menggoda hati kita. Pertama, ziarah kubur, mengingat mati. Kedua adalah serius dengan kontrak kita, perjanjian kita dengan orang tua, dengan keluarga, dengan orang lain, dan juga (semuanya berhubungan kontrak kita) dengan Allah; kita berhutang, kontrak kita sebagai warga negara, sebagai masyarakat, semua kontrak yang besar hingga kecil.
Dan ada banyak tips yang lain, yang insyaallah akan disampaikan selanjutnya saat tausiah setelah witir.
Sungguh Allah berikan ilmu yang sangat bermanfaat hari ini, disaat saya sedang mencoba memahami hal ini, Allah berikan pemahaman tambahan melalui momen yang tidak diduga-duga, disaat saya setelah belanja mingguan dan menepi ke masjid untuk jumatan, kemudian disampaikan melalui orang yang bisa saya terima secara ikhlas sama atau berbeda.
Wallahualam, wa yarhamukumullah.