Mencari Orang Tengah
Dalam dunia bola sepak, tahun ini istimewa, kelab-kelab papan atas mengamankan pemain tengah, saat ini ada Kante yang dielu-elukan karena mampu menjaga stabilitas permainan di Chelsea.
Pemain-pemain tengah ini adalah nasibnya terabaikan oleh sorotan media, tetapi kehilangannya artinya kehilangan separuh permainan, pertahanan yang perlu bekerja lebih keras, supply bola yang tersendat kepada penari sayap di lapangan, kerja untuk mencetak gol sesungguhnya bukan suatu elemen vital, menjaga permainan tidak berat kebelakang dan penyerangan dapat berkembang.
Sosok-sosok seperti Roy Keane, Makalele, Xabi Alonso, Viera dan jangan lupa Pirlo, merupakan sosok-sosok yang sulit tergantikan, pemain yang hilang dari ekspose, tetapi menjadi ruh dan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam permainan.
Begitu juga dalam bidang pergerakan ini, sosok-sosok orang tengah ini yang sampai saat ini perlu dicarikan regenerasinya, seolah-olah hidup di dua atau banyak dunia, seperti kehilangan konsistensi apakah bertahan atau menyerang, yang sesungguhnya permainan bertahan atau menyerang menunggu aba-aba dari sosok-sosok orang tengah ini.
Kita jarang melihat orang-orang tengah ini berkonflik dengan lini belakang ataupun lini depan, karena vitalnya kehadiran mereka untuk memperingan kerja dan menajamkan peran dari lini depan atau belakang. Orang-orang tengah ini tidak dipuji jika pertahanan efektif, dan tidak juga dipuji jika penyerangan berhasil.
Jika melihat masa lampau, banyak dari tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia adalah para orang-orang tengah, walaupun dikesempatan lain kita menyebutkan mereka dengan para elit.
Tan Malaka menjadi yang pertama masuk dari kalangan Muslim Sosialis, diikuti dengan Soekarno Muslim Marhaen, kemudian Hatta Muslim Nasionalis, begitu juga Agus Salim, Wahid Hasyim, Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak lainnya. Alasan mereka menjadi elit karena posisi mereka sebagai orang tengah, antara konsituen, idealisme dan keadaan.
Dunia pergerakan Indonesia tidak seberuntung kelab-kelab premier league yang cepat berbenah dan menyadari kehadiran dari pemain-pemain tengah ini. Lebih tepatnya sejak reformasi dunia pergerakan tidak pernah sekrisis ini memerlukan kembalinya para orang-orang tengah, yang bertarung sunyi, memberikan napas untuk para lini bertahan dan memberikan ruang untuk bergulirnya ide-ide pembangunan.
Memang seolah nampak harapan, tapi brendel kualitas belum tentu menjadi jawaban, Indonesia tidak pernah kurang melahirkan manusia-manusia berkualitas, tetapi para orang-orang tengah yang berdedikasi ini yang mungkin ada tetapi tidak mendapat sorotan tidak diberikan kesempatan untuk berperan dengan efektifitasnya.
Mungkin pemahaman pergerakan kita perlu diingatkan, seorang Soekarno yang mengusung marhaen berangkat dari sebuah identitas pergerakan keislaman, Tan Malaka sosok yang menguncangkan pergerakan sosialis dengan mengusung kerjasama dengan Pan-Islami di Timur Tengah, Hatta yang meletakkan pondasi muamalah dalam ekonomi Pancasila yang tidak terlalu kapitalis dan tidak terlalu sosialis, Natsir dengan politik Islam nya, Agus Salim dengan diplomasi Internasionalnya, dan masih banyak lainnya.
Begitu juga para masayikh yang menjadi orang-orang tengah yang mengisi ruang dan menjadi mediator kejumudan dan kebangkitan umat, Kaum Muda yang mengorganisasi gerakan dakwah di awal abad 19, mereka para salafi (pengikut salafus shalih) yang tidak alergi dengan berbagai kemajuan dan mengurung diri dari ummat, yang tersebar pada banyak organisasi dan pergerakan.
Zaman memang berganti dan terus bergulir, kehadiran para orang-orang tengah bukan saja perlu, tetapi memang menjadi solusi disaat semakin memanasnya manusia-manusia yang mencari eksistensi.
Dan kendala paling besar menemukan mereka adalah seperti mencari berlian dalam genangan lumpur, mereka yang sunyi dan bergerak dengan senyap.