Minangkabau Marawa – Syiar dan Maruah
Di Minangkabau, adalah hal yang sudah menjadi darah daging istilah arab dan islam, sehingga bagi anak kemenakan yang tidak mampu memahami, adalah satu kemunduran besar bagi proses kaderisasi dan suku itu sendiri, generasi yang lemah karena lemahnya pemahaman.
Warna dalam marawa melambangkan tiga ranah yang ada, yakni;
1. Kuning – Luhak Tanah Data
2. Merah – Luhak Agam
3. Hitam – Luhak Lima Puluah
Marawa berasal dari kata maruah bahasa arab, yang artinya harga diri, dan marawa ditegakkan untuk tiga perkara yang diutamakan yang dalam adat diketahui:
1. Rumah Gadang ketirisan
2. Mayat terbujur
3. Anak gadih dilamar.
Tiga perkara ini adalah maruah dimana marawa ditegakkan, hal ini disandarkan pada satu hadits:
ثَلاثَةٌ يَا عَلِيُّ لاَ تُؤَخِّرْهُنَّ : الصَّلاةُ إِذَا أَتَتْ ، وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ ، وَالأَيِّمُ إِذَا وَجَدَتْ كُفُؤًا
“Wahai Ali, ada tiga perkara yang tidak boleh engkau tunda, yakni shalat jika telah tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, dan wanita apabila telah ada calon suami yang sekufu.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad; hasan)
Rumah gadang ketirisan
Inilah dimana kita bisa memaknai dimana saat ini rumah gadang ketirisan, imam/datuk diperkarai dan menjadi perkara, sako kehilangan makna, harato menjadi perselisihan, dan shalat ~ islam ditinggalkan.
Jenazah terbujur
Budaya minangkabau yang ini sudah lama ditinggal, marawa yang biasa merah-hitam-kuning, diganti dengan bendera (marawa) kuning, pertanda bahwa ada orang meninggal dunia.
Anak gadih dilamar
Pernikahan sudah menjadi hal yang paling umum dimana marawa ditegakkan.
Kiranya inilah pemahaman kita tentang marawa, dimana maruah adat yang kita tegakkan adalah upaya atuk-atuk kita memahami dan menjalankan sunnah yang disyariatkan.