Jaminan untuk Fakir Miskin dan Anak Yatim
UUD 1945 Pasal 34 “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”
Kenapa poin ini ada dalam UUD 1945? Apa dasarnya?
Pasal 34 adalah paradigma jaminan sosial untuk bangsa ini, tetapi perwujudan dalam bentuk undang-undang dan kelembagaan yang masih belum bertemu sumbu dengan minyak.
Saya masih ingat cerita dari ayah tentang bagaimana Sang Guru Ahmad Dahlan meletakkan dasar filantropi – kesejahteraan sosial dalam tubuh Muhammadiyah, bersandar pada satu surat dalam Al-Quran yang sangat cantik dibahasakan.
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?(1) Itulah orang yang menghardik anak yatim, (2) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (3)Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (4)(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, (5)orang-orang yang berbuat riya, (6) dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (7) (Al-Maun 107)
Jika kita mau panjang lebar, cukup banyak ayat yang menyampaikan tentang filantropi ini, dan saya akan sampaikan pandangan kaitan filantropi ini yang diletakkan dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945.
Jaminan Sosial yang diatur oleh negara berskala prioritas pada dua obyek: yakni fakir miskin, dan anak yatim, yang diperluas dalam scope anak telantar.
Fakir Miskin, orang yang tidak memiliki pekerjaan / pemasukan untuk menghidupi dirinya ataupun keluarganya. Anak Telantar, anak-anak yang tidak memiliki wali / penanggung untuk menghidupinya.
Walaupun masih banyak hal yang harus diperjelas, tetapi urgensi untuk mewujudkan jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak yatim adalah kewajiban bagi penyelenggara negara, dan juga kewajiban untuk setiap warga negara untuk membantu merumuskannya.
Pendapatan Pajak berupa Pajak Penghasilan progresif 5%-30% lebih besar dari zakat penghasilan sebesar 2,5%, yang artinya jika didalam Islam perkara yang diwajibkan adalah zakat sebesar 2,5% untuk upaya memberikan hak yang layak kepada fakir miskin dan anak yatim, maka seharusnya ada jalan keluar.
Bentuk perumusan dan besarnya dana yang bisa dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan sosial sebenarnya sudah dapat diselesaikan, jika kita sebagai pemerintah dan warga negara benar-benar paham apa yang musti dilakukan.
﴾وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ﴿١٢﴾ فَكُّ رَقَبَةٍ ﴿١٣
﴾أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ ﴿١٤﴾ يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ ﴿١٥
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, (QS Al Balad, 90 : 12-15)
﴾أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ ﴿٦
(Bukankah Dia mendapatimu) Istifham atau kata tanya di sini mengandung makna Taqrir atau menetapkan (sebagai seorang yatim) karena ayahmu telah mati meninggalkan kamu sebelum kamu dilahirkan, atau sesudahnya (lalu Dia melindungimu) yaitu dengan cara menyerahkan dirimu ke asuhan pamanmu Abu Thalib. (QS Ad-Dhuha 93:6)
﴾فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ ﴿٩
(Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang) dengan cara mengambil hartanya atau lain-lainnya yang menjadi milik anak yatim. (QS. Ad Dhuha 93:9)
﴾رَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ﴿١﴾ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ ﴿٢
(Tahukah kamu orang yang mendustakan hari pembalasan?) atau adanya hari hisab dan hari pembalasan amal perbuatan. Maksudnya apakah kamu mengetahui orang itu? Jika kamu belum mengetahui: (1) (Maka dia itulah) sesudah huruf Fa ditetapkan adanya lafal Huwa, artinya maka dia itulah (orang yang menghardik anak yatim) yakni menolaknya dengan keras dan tidak mau memberikan hak yang seharusnya ia terima. (QS Al Ma’un 107:1-2)