Mimpi si Tukang Minyak

Dari dulu minyak selalu mahal, karenanya semua bermimpi terbangun di pagi hari dengan sebuah informasi, ada minyak di bawah tanahmu, tetapi lain Amerika, lain pula Indonesia, di Amerika ataupun belahan dunia lainnya, negara yang benar-benar loyal pada idealismenya, minyak adalah harta individu karena lokasinya bergantung pada dimana letaknya, di tanah milik siapa, itulah sebabnya kenapa cowboy-cowboy Texas banyak melejit menjadi miliarder.

Lain pula Indonesia, negara republik yang mengagungkan demokrasi tetapi setia atau justru berkhianat untuk terus memasung kepemilikan harta tersebut sebagai milik negara, dan pada satu konsepsi negara takluk pada kapital-kapital asing yang membusung kelaparan.

Ada cerita pula di Malaysia minyak murah bernilai Oktan 95 seharga 1.85 RM, dimana di Indonesia Oktan 88 baru dihargai senilai. Jangan teruskan sebut negara ini sebagai negara kaya, negara ini sungguh negara tidak berdaya, terlebih berupaya. Bangsa yang malas untuk merubah nasibnya, tak perlu sesumbar apa yang ada di isi kepala, sedangkan untuk bergerak mengangkat kaki saja sudah enggan.

Di negara dimana lulusan berdasinya banyak yang menjadi penggangguran seharusnya paham dengan permasalahan kualitas, dan berwawasan luas. Berwawasan bukan berarti paham semua tempat kongkow di seluruh pelosok jakarta, atau tahu semua lokasi pariwisata untuk menghabiskan uang orang tuanya, tetapi paham ada satu fenomena yang terjadi dengan sebab dan akibat, dengan alasan dan permasalahan, dan itu semua bukan tentang kita seorang.

Dunia bukanlah sebuah lembaran peta yang dengan mudah dicerna, coba robohkan tembok-tembok yang kau susun dalam kepala dan fikiranmu, hingga kau bisa mencoba melihat, anak-anak kita kelak akan bebas melanglang buana tanpa tembok yang tersekat, yang mungkin saja bapak ibunya hanya mampu mampu membeli sepetak tanah di pojok jakarta, dan kita akan biarkan anak-anak kita tersekat seperti bapak ibunya, yang mengucil karena pikiran kerdilnya.

Si Tukang Minyak harus bermimpi bukan sekedar menarik gerobak yang harus berlari di jalan yang menurun dan terengal-engal mendorong di jalan yang mendaki, ada roda, ada alat, ada teknologi yang bisa dicapai dengan nalar yang juga sanggup mengoptimalkan fungsinya, bukan hanya sekedar hidup terseret arus dan meyakinkan diri pada dirinya sendiri bahwa ‘akulah si anak zaman’, ikuti semua tren dengan butanya, kawanmu bisa kau tipu, tetapi tidak akalmu yang kau bawa dari kau lahir.

Leave a Reply