Trauma, Kebencian dan Mimpi
Apakabar jakarta, hingar bingar yang terencana seolah pudar hanya oleh sebuah kata dari sang jendral, trauma itu masih tersisa, ancaman jeruji dan menghilang di antara riuh dan kembali hanya berbalut nama, dan trauma itu masih juga menjadi ancaman bagi kita yang menolak takluk dan menjadi senjata mengancam bagi mereka yang tersudut.
Tapi sungguhkah kita perlu semua itu? tari-tarian gila di tengah jalan tanpa aturan, lari berlari, kejar mengejar antara pejuang dan pemangsa, lalu semua kembali riuh saat hujan yang tak diminta menghardik mereka dengan tekanan yang mampu membuat mereka terjerembab, di hari dimana guratan pena akan selalu mencatat, dimana sebuah tulisan nyaring lebih nyaring dari sebuah teriakan, sebuah kata pendek lebih tajam dari makian, sejarah mencatat dan bukan hanya dia saja, tetapi semua, ratusan, ribuan, menuliskan dalam satu fragmen tentang drama omong kosong yang tak pernah dijelaskan rimbanya.
Kemana pemuda? Saat idealisme hal tersisa paling berharga dari kawanannya, mampu menggoyahkan lantang lamunan apatisme akan kemajuan, bayangnya berdiri di garda depan dengan ide revolusioner, dan juga bertahan dari anarki yang menggerogotinya, jawabnya adalah kepandaian, tanyanya adalah kebijaksanaan, transformasi menuju organisasi lambang pemahamannya.
Terjadi ataupun tidak, hendak kemana kita kemudian?