Systemic Chaos (2)

Pegawai Negeri Sipil adalah pelayan publik, apakah benar?

Melihat semakin kompleksnya struktur kepegawaian pemerintah saat ini, tidak sepenuhnya benar idiom bahwasanya para pegawai negeri sipil (PNS) adalah pelayan publik, differensiasi kerja yang dilakukan oleh masing-masing struktural kepegawaian sebenarnya sudah menjawab hal ini, bagaimana pelayanan publik seperti administrasi umum seperti KTP, surat keterangan (dsb), posisi sebagai pejabat pemerintah, tenaga pengajar (guru, dosen, dsb) yang diberdayakan pemerintah, tenaga medis (dokter, suster, dsb), staf ahli dan lain sebagainya.

Jika kita menggeneralisir kewajiban para pegawai publik diatas rasa tidak bijak, dikarenakan fleksibilitas kerja, kewenangan kerja serta tanggung jawabnya, sudah sepatutnya dilakukan differensiasi yang bukan hanya menyangkut kerja, bukan hanya menyangkut kewenangan, tetapi juga kewajiban yang harus differensiasi, misal waktu kerja, cara penggajian, dan hal lainnya.

Misal untuk dosen, dilakukan sistem pengampuan kredit semester, artinya pemerintah menanggung biaya atau dengan kata lain penggajian dosen berdasarkan kredit semester yang diampunya, dengan rata-rata pembebanan kerja yang representatif dengan gajinya, sehingga dengan ini pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran baru menaikkan standar gaji tenaga pengajar, karena selain waktu yang diampunya tenaga pengajar memiliki fleksibilitas waktu untuk melakukan hal lainnya, seperti mengajar di institusi swasta, melakukan usaha, dan kegiatan lainnya, hal ini insyaallah bisa menjawab prestise posisi dosen hingga kelayakan gaji tenaga pengajar yang dihitung berdasarkan jam mengajar, diluar tunjangan pokok sebagai PNS.

Begitu juga untuk tenaga medis, staf ahli, akan tetapi lain halnya dengan staf pelayanan publik, effisiensi dan optimalitas kerja harus diutamakan, karena ini menyangkut pelayanan publik, dimana hak warga negara terhadap negara harus difasilitasi secara bijak, dikarenakan pada umumnya pelayanan publik bersifat repetisi, atau pengulangan, dan pastinya manusia memiliki kejenuhan, transplantasi teknologi harus dilakukan untuk menjawab hal ini, selain menjadi solusi atas kejenuhan dari individu, hal ini juga dapat menghemat waktu sehingga kita dapat berbicara tentang effisiensi dan efektifitas, dan bahkan hingga pengurangan biaya yang harus dikeluarkan oleh warga negara untuk mendapatkan haknya.

Secara logik biaya yang dikeluarkan warga negara untuk mendapatkan haknya dapat dipahami, akan tetapi secara etik justru hal ini bertolak belakang dimana hak adalah sesuatu yang sudah sepatutnya didapatkan, bahkan tanpa usaha sekalipun untuk mendapatkannya, sehingga jika kita berbicara tentang pelayanan publik, sungguh hal ini masih jauh dari sisi ideal, baik dari sistem, cara kerja, hingga pada pemahaman terhadap posisi kerja ini sebagai pelayan publik.

Berdasarkan hal diatas kita dapat mengkaji, bagaimana kesulitannya warga negara untuk melegalisasi haknya seperti pembuatan KTP yang bisa habis 100ribu perkepala, bagaimana pembuatan KK juga tidak jauh dari biaya tersebut, pembuatan akta kelahiran, legalisir, dan sebagainya. Dengan kata lain setiap warga negara yang lahir, harus mengeluarkan biaya sepersekian untuk pengurusan haknya, dan keterbatasan dalam mendapatkan haknya ini dikemudian harinya akan menjadi efek domino untuk menjalankan sistem yang lebih global dan kompleks.

Hal ini jika dibiarkan akan menghambat berjalannya sistem dikarenakan pendataan yang tidak valid, dan pada akhirnya berhujung pada sistem yang berjalan tidak effisien, dengan kata lain berantakan dan pada titik akumulasinya akan menyebabkan chaos.

Leave a Reply