Pasal 1 : Timbulnya Persoalan Dialektika

Sampai sekarang kita melayani perkara yang terutama berhubungan dengan Logika, Ilmu Berpikir. Semua pertanyaan yang dimajukan bolah dijawab dengan ya atau tidak. Syahdan menurut Logika, ya, bukan berarti tidak. Dan tidak itu sama sekali tidak, bukan berarti iya.

Dalam Geometri & Co dan Ilmu Alam & Co, yang sudah kita uraikan dahulu, kita mengadakan semua pertanyaan yang boleh dijawab ya atau tidak. Dalam biologi kita sudah sedikit meraba pertanyaan yang tiada bisa diputuskan dengan jawab ya dan tidak semata-mata, tetapi, kita tinggal meraba-raba saja dan segera menarik tangan kita kembali.

Sekarang sudah sampai waktunya buat memeriksa pertanyaan yang tiada bisa lagi dijawab dengan ya atau tidak. Sekarang sudah sampai waktunya buat memeriksa pertanyaan yang tiada bisa diselesaikan oleh Logika. Pertanyaan yang tiada bisa lagi diselesaikan oleh Logika itu, adalah bermacam-macam, masing-masing mengandung salah satu atau beberapa perkara yang dibawah ini.

Bagian 1. TEMPO

Pertanyaan umpamanya, apakah Edison bodoh atau pandai tiadalah bisa dijawab dengan pasti menurut Logika saja, dengan ya atau tidak begitu saja. Kita tahu, ketika berumur 6 tahun, Thomas Edison diusir pulang oleh gurunya karena bodoh. Tapi seluruh dunia sekarang mengetauhi pula bahwa Thomas Edison yang akil balig, betul-betul mencahayai dunia kita dengan hasil otaknya yang gilang gemilang itu.

Teranglah disini Sang Tempo mengubah Thomas dari murid yang goblok menjadi satu genius (maha cerdas) yang akan tetap dapat kehormatan sejarah dalam dunia seperti Faraday, Ohm, Ampire dan kawannya yang lain dalam ilmu Listerik. Kita diajar di sekolah menengah, bahwa “titik” kalau ditarik terus akan menjadi garis dan garis ditarik terus akan menjadi bidang dan bidang yang ditarik terus akan menjadi badan. Semua pekerjaan ini memakai tempo. Kita perlu memakai tempo buat mengubah titik menjadi garis atau garis menjadi bidang dan akhirnya bidang jadi badan. Kalau sudah cukup memakai tempo, kita bisa menjawab mana titik mana garis, mana garis dan mana bidang, mana bidang dan mana banda. Tetapi pada saat dimana titik belum menjadi garis, garis belum menjadi bidang dsb, kita tidak bisa jawab apakah ini titik atau garis dst. garis atau bidang.

Dalam ilmu alam kita mengetahui bahwa, air kalau dipanaskan sesudah beberapa lamanya, hilang menjadi uap. Dalam hal ini kita tahu benar, mana yang air, mana yang uap. Tetapi ada saatnya, dimana kita tak bisa menjawab apakah ia itu masih air atau sudah menjadi uap.

Dalam kehidupan sehari-haripun, kita berjumpa dengan bermacam-macam pertanyaan yang tiada bisa diputuskan dengan ya dan tidak saja, kalau sang Tempo campur. Mudah mengatakan orang itu tua, kalau memang sudah hampir atau lebih seratus tahun umurnya, bermata kabur, berambut putih dan bertelinga pekak dsb, atau masih bayi, kalau berumur tiga atau empat bulan. Tetapi jawablah dengan ya atau tidak tua kalau seseorang tetap kuat berupa muda, walaupun umpamanya sudah kira-kira 50 tahun.

Adalah saatnya dimana kita semua makhluk bernyawa ini, seorang dokter yang pintarpun, tak bisa menjawab dengan pasti bahwa kita sudah mati atau masih hidup.

Jadi jikalau pertanyaan itu dicampuri oleh tempo dimana campur perkara timbul dan hilang, hidup dan mati, disinilah Logika semata-mata menjadi gagal.

Bagian 2. BERKENA-KENAAN, BERSELUK-BELUK

Kia masih ingat bagaimana perbedaan besar diantara dua ahli Biologi besar, menghampiri persoalan tentang Tumbuhan dan Hewan. Lenxeus menganggap tiap jenis (spesies) baik Tumbuhan ataupun Hewan, sebagai berdiri sendirinya, tunggal. Tak berkenaan dan tak ada seluk-beluknya dengan jenis lain. Sedangkan Darwin menganggap sebaliknya, satu sama lain tak bisa dipisahkan, dipancirkan sendirinya. Lenxeus mengganggap masing-masing jenis, sebagai barang yang tetap yang pada satu saat dibuat yang Maha Kuasa. Sedangkan Darwin menganggap masing-masingnya jenis itu berubah sesudah beberapa lama disebabkan oleh Pilihan Alam (Natural Selection). Lenxeus berpendapat bahwa masing-masing jenis mesti diperiksa satu persatunya, terpancir sama sekali dari jenis yang lain-lain. Sebaliknya Darwin memeriksa peralamankan masing-masing jenis dengan seketikapun tak melupakan perkenaan dan seluk-beluknya jenis itu dnegan jenis yang lain.

Lenxeus setia pada Logika: Hewan ini masuk jenis ini, bukan jenis itu. Kodok ini tak ada seluk-beluk dan perkenannya dnegan burung dan seterusnya.

Darwin setia pada Logika, dimana Logika bisa berlaku. Tetapi meninggalkan Logika, kalau Logika tiada berdaya lagi: ini jenis berkenaan dengan itu, seluk-beluk dengan itu, bukan ini atau itu saja. Kodok berkenaan betul dengan burung. Perbandingkanlah tengkorak, tulang-belulang, hati, jantung, dan sebagainya diantara kedua jenis itu. Perhatikanlah tulang belulang dan sekalian anggota Hewan dan cacing sampai ke Manusia. Tiadalah tuan menjumpai seluk beluk, perkenaan satu sama lainnya?

Perhatikanlah jenis Hewan di Papua yang berada di antara binatang yang melahirkan anak hidup-hidup, dengan burung yakni binatang yang bertelur, tetapi menyusukan anaknya. Di Amerika Selatan ada barang setengah Tumbuhan dan setengah Hewan yakni Tumbuhan yang bisa menangkap mangsanya. Dalam laut ada barang setengah benda setengah Tumbuhan.

Hasil pekerjaan Lenxeus, ialah mencadangkan satu system (tata) tumbuhan dan Hewan mati, yang dipelajari oleh pengikut Logika saja terutama pengikut Logika Mistika. Sedangkan teori Darwin menjadi pedoman bekerja buat ahli kebun dan ahli hewan yang tak putus mencangkokkan tanaman dan memilih yang baik, membuang yang buruk, baik Tumbuhan ataupun tampang Hewan, sehingga makin lama, kita mendapat bunga yang lebih harum, buah yang lebih lezat dan hewan yang lebih tegap, kuat, gemuk, berfaedah dan kembang biak.

Bagian 3. PERTENTANGAN

Pada Matematika dan Ilmu Alam rendahan, ya dan tidak itu tak langsung berupa pertentangan yang terang, melainkan mula-mula berupa timbul atau hilang. Baru pada kedua perkataan timbul dan hilang ini (weden und vergehen) kata Engels, dia berupa pertentangan. Tetapi pada Ilmu Masyarakat berdasarkan Komunisme, ya dan tidak itu langsung dan nyata berdasarkan pertentangan.

Pencaharian Arab di daerah tempat saya menulis Madilog ini, yakni daerah Jakarta, terutama sekali memperbungakan uang umum dipasar-pasar dipinjamkan Arab pada Indonesia R 1,- dengan bunga 5 sen sehari.

Berupa kecil, tetapi menurut perhitungan Matematika bunga semacam itu dan 1,825% setahun. Ini menurut Logika, menurut hitungan bunga berbunga pula (samengestelde interest). Dengan kerja semacam itu dari turunan keterurunan, mereka menjadi kaya, ada kaya raya mempunyai tanah dan rumah. Tentulah bukan satu kali hal yang kita tuliskan dibawah ini sebagai contoh, yang terjadi semenjak bangsa ini meninggalkan Tanah Suci dan mencemarkan kaki pada tanah kita yang dianggap tidak suci ini.

Sebagai misal: Seorang tuan tanah Arab, kita namakan saja Halal bin Fulus, sudah lama meminjamkan uang pada seorang petani Indonesia. Petani menanggungkan tanah dan rumahnya atas pinjaman itu. Dia tak bisa melunaskan hutangnya, sebaliknya membeli makanan dan pakaian dan membayar pajak pada pemertintah Belanda saja, sebetulnya tak bisa ditutup dengan hasil tanahnya yang sebidang kecil itu. Keperluan luar biasa pada umat Islam, seperti menyunat dan mengawinkan anak dan merayakan Hari Besar Islam, Lebaran, menuntut ongkos luar biasa yang bagaimana juga rajinnya dia bekerja tak bisa dipenuhi lagi. Terpaksa ia meminjam uang lagi kepada tuan Halal bin Fulus dari Tanah Suci yang seagama dengan dia. Melunaskan hutang dan bunganya yang makin lama bertambah-tambah itu. Tuan Halal bin Fulus tahu pula akan sifatnya petani Indonesia, het zachte volk der aarde, itu bangsa yang semanis-manisnya. Gula Arabpun manis, dan tuan Fulus tak keberatan melebihi harga tanggungan. Tetapi pada satu ketika harga tanah pekarangan dan rumah petani sampai menjadi kurang atau hampir saja dengan hutang bunganya. Disini tuan Fulus baru sekarang petani ada semacam tikus di dalam cengkeraman kucing. Seagama atau tidak, dengan manis atau suara keras, namun hutang mesti dibayar.

Kalau kebetulan petani ada mempunyai anak perawan yang cocok sama perasaan tuan Fulus, suka atau tak suka si perawan, karena petani kebuntuan jalan, perkara hutang mungkin dihabiskan dengan perdamaian diantara tuan Fulus dengan petani Indonesia berdua saja. Tetapi kalau petani kebetulan punya anak bujang saja, atau kalau ada perawan yang cantik tetapi jika si ayah meskipun kemauan anaknya yang tak mau dikawinkan dengan tuan Fulus yang sudah tua dan beberapa kali kawin itu, maka disini timbullah percekcokan. Tuan Halal bin Fulus kita andaikan marah dan pergi mengadu ke Pengadilan.

Perkara diperiksa. Kalau perlu tuan Fulus mencari advokad yang pintar; arief bisaksana, yang tentu akan berusaha keras, menurut nilai pembayarannya. Dalam 99 diantara 100 perkara semacam itu, tentulah tuan Halal bin Fulus berasal dari tanah Suci, yang menang. Petani yang tak kuasa membeli beras atau sehelai pakaian buat anak bini masa Lebaran, kalau tak meminjam lebih dahulu pada tuan Fulus, manakah bisa bayar advokat. Pengadilan umpamanya memutuskan, bahwa si-tani mesti menjual tanah, pekarangan, rumah dan perabotan kalau ada; sapi atau ayampun kalau ada, buat membayar hutangnya.

Sedikit kepanjangan buat contoh, tetapi kependekan buat hal yang banyak sekali terjadi di pulau Jawa dan penting buat kehidupan orang Indonesia. Sekarang kita bertanya : Adilkah putusan Hakim Pengadilan tadi? Inilah salah satu dari pertanyaan yang tiada boleh dijawab dengan ya, dan tidak saja. Karena pertanyaan itu berkenaan dengan perkara yang berhubungan dengan masyarakat yang bertentangan diantara: Yang berpunya dengan Tak berpunya.

Tuan Fulus Muslimin yang Berpunya, sebagian besar dari kaum Ulama dan Pemerintah berdasar “kepunyaan sendiri”, tentulah 100% membenarkan putusan itu. Petani berhutang dan hutang mesti dibayar. Ini cocok dengan semua Undang kemodalan dan cocok dengan semua Agama.

Sebaliknya filsafat kaum Tak Berpunya atau Undang kaum Tak berpunya (dimana kaum Tak berpunya menguasai Negara) 100 % pula akan memutuskan bahwa putusan Hakim “tidak” adil.
Kalau penulis ini umpamanya berkuasa mengambil putusan, maka penulis akan menyuruh pilih saja satu dari dua putusan. Pertama, karena tuan Halal bin Fulus bukan bangsa Indonesia, supaya pulang kembali ke Tanah Suci denga diizinkan membawa sekedarnya dari harta bendanya, atau kedua: boleh tinggal disini, tetapi mesti mengembalikan semua hartanya pada Negara Indonesia. Dalam hal kedua dia lebih dahulu mesti dijadikan “manusia yang berguna buat masyarakat Indonesia”, yaitu dengan menukar dia sebagai paraciet, shylock, lintah-darat, menjadi “pekerja” sekurangnya 13 tahun. Sesudah itu baru boleh diterima menjadi penduduk yang sama haknya dnegan “pekerja” yang lain-lain.

Pendeknya dalam perkara diantara dua pokok yang bertentangan, kita tidak bisa menjawab dengan ya atau  tidak (benar atau salah, adil atau dhalim), sebelum kita mengambil pendirian, mengambil penjuru dari mana kita mesti memandang, point of view. Apa yang dipandang adil dari satu pihak, berarti tak adil dipandang dari pihak yang lain, dan sebaliknya. Sebab itu kita mesti lebih dahulu berpihak pada yang lain, atau sebaliknya inilah artinya menentukan POINT OF VIEW. Dari salah satu sudut barulah kita bisa memandang dan memutuskan ya atau tidak.

Bagian 4. GERAKAN

Satu bola, berguling, bergerak, pada satu saat kita bertanya: Apakah bola ini pada saat ini disini atau tidak disini?

Inilah pertanyaan yang tiada boleh dijawab dengan ya atau tidak saja. Dari sinilah timbulnya Dialektika, yang juga pernah dinamakan Ilmu Berpikir dalam Gerakan. Dalam hal semacam ini kita mesti menjawab ya dan tidak. Bukan saja ya atau hanya tidak, tetapi ya dan tidak keduanya. sebab kalau kita jawab ya maka hal ini bertentangan dengan keadaan bola yang bergerak. Bola yang bergerak tentulah tidak disini lagi. Kalau sebaliknya kita jawab tidak, maka hal ini mesti bertentangan dengan pertanyaan kita sendiri. Karena kita bertanya, apakah pada saat ini boleh itu ada disini, dan memang ada disini.

Jadi dalam semua benda yang bergerak, kita mesti memakai Dialektika. Kita mesti ketahui, bahwa semua benda di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya berubah, bergerak. Tumbuhan muncul dari bijinya, tumbuh, berbuah, dan mati, zatnya kembali ke tanah, ke air dan ke udara. Hewan lahir, tumbuh, beranak, tua, mati dan zatnya kembali ke tanah. Logam berkarat dan luntur. Bintang yang sebesar-besarnya bergerak pada sumbunya sendiri.

Bumi bergerak mengelilingi Bintang, ialah Matahari. Atom yang kecil itupun tiadalah tetap, melainkan bergerak juga. Begitu juga kodrat, berubah bentuknya dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Sekarang kodrat itu berupa panas, nanti dia berupa sinar, sebentar lagi bertukar berupa cahaya. Sekarang kodrat itu tersembunyi dalam air, nanti dalam uap. Disini kodrat panas atau sinar tersembunyi dalam listerik, disana pada benda menyala. Begitulah seterusnya, seperti kata Engels, saya ingat dalam Anti Duhring: “seluruhnya Gerakan Alam itu boleh diickhtiarkan dengan “peralihan” kodrat yang tiada putus-putusnya dari satu bentuk ke bentuk yang lain”. Banyak sekali pemikir mengichtisarkan Alam kita ini dengan: “Matter in move”, benda bergerak, karena gerakanlah yang jadi sifat benda yang terutama, maka Dialektikalah Hukum Berpikir yang terutama sekali.

Pada empat perkara tsb, diataslah timbulnya persoalan Dialektika. Kalau dipandang dari penjuru tempoh, maka Dialektika itu boleh juga kita namai Ilmu Berpikir Berlainan, yaitu dalam hal berpikir yang memperhatikan tempoh dimasa sesuatu benda, tumbuh dan hilang, hidup dan mati. Kalau dipandang dari penjuru kena-mengena dan seluk-beluknya sesuatu benda dengan benda lain, maka Dialektika tadi boleh pula dikatakan Ilmu Berpikir yang dalam hal kena-mengena, dalam hal berseluk-beluk (verkettung und Zusammenhang, kata Engels), bukan sendirinya. Sering sekali Dialektika dinamai Ilmu Berpikir pertentangan. Dan seperti sudah kita katakan diatas juga pernah dinamai Ilmu Berpikir dalam Gerakan. Kata Engels juga kita mesti mempelajari suatu benda dengan memperhatikan “pertentangannya, kena-mengenanya serta seluk-beluknya, pergerakannya, tumbuh dan hilangnya”.

Leave a Reply