Negeri yang memupuk rasa benci
Nasib tak ada yang tahu, sehingga sering pepatah tua mengatakan, pandai-pandai memilih kawan, dan pandai-pandai mencari lawan. Ini bukan tentang kemampuan, daya, kekuatan untuk menakar kekuatan atau beradu dengan lawan, tetapi kawan dan lawan bisa menjadi sesuatu yang berurat dan berakar, menjadi sesuatu yang bertahan lama bahkan abadi.
Hal-hal yang terjadi belakangan, menaikkan tensi hubungan silaturahmi Indonesia dan Malaysia, bahkan sampai muncul isu sweping malaysia, entah benar atau tidak, akan tetapi terlebih dari itu ada beberapa hal yang patut kita bicarakan mengenai strategik kawasan, kecenderungan untuk bersekutu.
Indonesia – Malaysia – Brunai memiliki potensi kerukunan untuk bersekutu lebih besar, dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya, ok lah kita berbicara dalam tataran general yang menjadikan semua negara tetangga bisa menjadi sekutu selama mampu duduk dalam meja yang sama tinggi, akan tetapi perlu dilihat untuk beberapa isu, yang menyangkut mayoritas penduduk di Indonesia, Malaysia, dan Brunai menyangkut kebijakan luar negeri, regional yang bersinggungan dengan mayoritas penduduknya yang Islam, hal ini akan menjadi berbeda, strategic postion ini yang harus benar-benar dipertimbangkan oleh negara, penduduknya, pemerintah dalam bersikap, bukan hanya sekedar seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.
Saya menyesalkan apa yang dilakukan Menteri Pariwisata kita, dan saya yakin seyakinnya beliau tidak paham tentang toleransi keserumpunan yang sudah berlaku dari zaman merdeka, dari pembebasan fiskal di daerah-daerah yang berbatasan dengan Malaysia, bagaimana kebudayaan saling mendukung dan mobilisasi massa yang luar biasa, lalu timbul pertanyaan, untuk apa kampanye benci, dan mengutuk keras klaim budaya oleh malaysia dilibatkan atau bahkan disuguhkan ke khalayak umum? Apakah kementrian Pariwisata kekurangan staf PNS untuk mengurus hal ini? Apakah negara kekurangan Dana untuk mengurus hal ini dengan diplomasi yang lebih elegan?
Rasa benci sulit dihapus, berlainan dengan rasa damai yang mudah diusik dan berubah-ubah, apa yang dilakukan pemerintah dengan kampanye massal ini patut disesalkan, satu generasi setidaknya, generasi pemuda yang menanamkan pada diri mereka, memupuk diri mereka dengan rasa benci, yang entah kapan akan bisa diperbaiki, kita berbicara tentang potensi besar yang kita marginalkan dengan cara kita bersikap.
Permasalahan klaim budaya dan sebagainya itu adalah permasalahan G to G, selesaikanlah dengan cara elegan, karena untuk itu pemerintah kita pilih, bukan hanya sekedar untuk duduk, menerima gaji kemudian disaat menghadapi masalah, seolah-olah kita akan tertimpa gunung, posisikan dengan wajar tanpa harus menyulut permusuhan, dan sensitifitas masyarakat, siapa yang tidak akan bergelagak amarahnya jika terus di provokasi seperti ini? Tetapi bagaimana cara menghentikannya jika Pemerintah ditambah minyak dari media-media semakin membabi buta?
Dalam satu survei yang dilakukan oleh seorang kawan http://ilhamfadli.blogspot.com/2009/08/entah-mengapa-malaysia-bukan-dianggap.html , di daerah sumatera barat tepatnya di pasaman barat diberikan kuisioner yang salah satunya berisi tentang negara-negara yang dianggap lawan, dan yang membuat kaget adalah di urutan ketiga adalah negara malaysia, yang ketika dikembangkan mengerucut pada 3 kata kunci yakni “TKI dengan devian Penyiksaan”, “Plagiat” dan “Ambalat”.
Tak perlu menunggu berpuluh tahun yang akan datang untuk menyaksikan bagaimana trend/sikap yang dimasyarakat (tentang kebencian terhadap malaysia) berkembang seperti lalapan api, kalau sudah begini bagaimana kita mengatakan kita tidak termakan provokasi?