Meliuk dan Menari
Coba lihat kawan, tuhan masih sayang pada kita, diberikannya pilihan yang tak menang, sehingga tak ada kata bagi kita untuk bungkam, memang salah kita, saat ratapan hari dibuat untuk memilih karena berpihak, manusia seperti kita tak boleh berpihak kawaaannn…, karena kita bukan siapa-siapa, mungkin hanya sebongkah batu dipinggir jalan yang tak pernah meraung jika terinjak pantas menjadi metafor diri kita.
Aku masih ingat ketika tulisan-tulisan tanganmu menggetarkan dada, ya bangsa ini belum akan mati, setidak saat ini, disaat masih ada ketidakpuasan, masih ada rasa gelisah, masih ada mimpi yang tak terjawab, sedangkan revolusi, itu masalahmu dengan akal sehatmu, masihkah kau biarkan dia berjalan sendirian tanpa tali pengikat kekang.
Dilembah itu, lembah dimana lembaran-lembaran kamuflase entah kau atau setan yang membaca, meliuk dan menari membentuk memori baru dalam kepalamu, aku tahu kau tak serupa dulu, bocah ingusan yang gemar berdiam diri, gini larut dalam imaji tulisannya. Setidaknya kau berbeda, demikian kataku.
Bukit-bukit liar terjal yang hanya sepetak puncak kau daki hanya untuk memuaskan dahagamu untuk berburu, kau katakan kau sudah berburu, mungkin bagi orang dusun sana, itu hanya pemanasan hendak mencangkul, aku rindu ratapanmu kawan, ratapan yang membuat malamku meraung berdesir, apakah sang revolusi sudah mati?
Owh kawaaaannnn…. Aku rindu pesanmu yang sering kau sisipkan dalam gelak jenakamu, serupa sandi morse disaat genting medan perang, aku rindu kau kawan… Apakah kau mati? Ataukah kau sedang dalam misi menjejakkan langkah dan berdiri jauh didepanku dengan bendera melambai berteriak “merdeka”….
atau mati…