Mata Hukum yang berbeda

Seharusnya setelah peradilan hutang soeharto, kita patut bernapas lega, selain hanya sekedar meratap bagaimana hutang yang apakah benar adanya, dimenangkan klausulnya oleh jaksa penuntut yang mewakili negara.

Kenapa kita patut bernapas lega? Anda menyelamatkan anak cucu anda

Dalam case pengajuan kredit-hutang, ditanyakan masalah pewaris, dengan menangnya case Tommy Soeharto, anda tidak perlu khawatir dengan nasib anda yang akan memberikan hutang besar terhadap anak cucu anda, tidak akan, dalam perkara perdata, walaupun dalam republik ini memiliki peradilan agama, hutang anda akan hilang jika anda meninggal, tanpa terkecuali, tidak akan ada klausul waris mewarisi, bukankah ini berita bagus? Untuk peradilan yang lebih besar, kasus seperti ini bisa menang, terlebih jika ini adalah kasus kita nantinya.

Dan perbankan siap-siap untuk mengantisipasi ketidakpastian hukum kedepannya, jika beberapa orang yang membaca ini membagi pengetahuannya akan hal ini, sudah dipastikan perbankan akan kehilang dividen terbesarnya dari kreditur, penghutang mereka.

Apakah ini kesalahan?

Ya, dan lebih tepat lagi disebut kelalaian, bangsa ini sudah dari 1945 merdeka, jika kita baru menyadari ambivalensi ini, sungguh patut dipertanyakan, sudah kemana saja kita?

Mata Hukum yang berbeda

Kematian M. Jackson, dengan meninggalkan sederet hutangnya, tiba-tiba mendapat simpati dari warga Indonesia, tapi untuk apa? Dia meninggalkan hutangnya dalam klausul Hukum artinya, dia bersama hutangnya meninggalkan dunia ini, sedangkan dalam kacamata publik yang banyak dipengaruhi nilai-nilai syariat islam, pastinya yang terfikir adalah seseorang harus membayarnya, dan adalah hak ahli warisnya.

Ambivalensi, kenapa pengusaha jarang bangkrut?

Anda tahu PT, tahu hukum legal PT, jika dinyatakan pailit, maka harta pribadi tidak akan masuk dalam perhitungan penyitaan oleh pihak terkait. Jika begitu klausulnya maka anda tahu kenapa pengusaha tidak akan bangkrut disaat perusahaannya bangkrut?

Ambivalen, untuk masyarakat Indonesia, yang terdidik dan mengaku terdidik, ini adalah PR!!

Dalam satu narasi buku disebutkan, bangsa sebesar ini hanya mencaplok mentah-mentah hukum pidana dan perdata, yang dahulu hanya digunakan oleh orang belanda, dan china, sedangkan masyarakat pada umumnya menggunakan hukum syariah-muamalah, kemudian dari 1945 diusung hukum nasional hasil dari integrasi hukum pidana – perdata – hukum muamalah – dan kearifan lokal, lalu apa artinya dengan kepastian hukum, jika yang terjadi adalah kegagapan kita didepan hukum, hal yang menurut kita sudah sangat umum berlaku dalam masyarakat sebagai satu budaya dari zaman kera, ternyata didepan meja hijau, tidak berlaku.

Para hakim, jaksa, dan pengacara pun gagap kapan?

sebenarnya adalah sejarah, ketika persidangan harta soeharto, semua terkesima, mungkin media massa tidak mengangkatnya karena tidak paham permasalahannya, tokh lagi pula di negara ini, mana ada media massa yang benar-benar massif, padahal seharusnya ini menjadi satu ulasan menarik, bahwa semua gagap ketika publik memprediksi tergugat akan kalah, tapi ternyata ditopang oleh satu kecacatan hukum republik, “masalah waris” yang tidak ada di kitab hukum perdata, maka tergugat dinyatakan tidak memiliki kewajiban.

Bangsa Tua yang tak pernah muda..

Lupakan mengusung-usung jati diri bangsa, jika dalam satu kehidupan yang sama, ada dua mata yang berlaku, mata hukum yang berbeda dengan mata publik.

Sekali lagi, bangsa ini hanyalah sebuah kerumunan manusia, bukan barisan yang saling menguatkan satu sama lain, terlebih anda-anda yang  hanya menghabiskan waktu untuk mengulas sejarah, tidak bertindak sebagai salah satu pelakunya.  Bangsa yang sia-sia untuk diperjuangkan.

Leave a Reply