Anak-anak Kolong Langit (it has been a year)

Sudah setahun sejak aku kembali di kampung kecilku ini, setelah hampir 9 tahun meninggalkan pandangan dari perubahan, ternyata banyak hal yang berubah. Pemukiman semakin beringsut-ingsut merapat, tak ada lagi yang tersisa untuk bergerak terlebih menghirup udara kedamaian.

Entah apa yang terjadi, anak-anak kecil kehilangan lapangan untuk bermain, selalu, dan selalu mencoba menyelinap ke perkarangan rumah orang lain, memanjat pagar, pohon yang menggelayut ke luar, hanya untuk satu hal, bermain layang-layang, tanpa tahu apa haknya untuk berada ditanah yang disertifikasi bukan atas nama bapaknya, di beranda, di lantai atas rumah orang. Apa seperti ini masyarakat berkembang?

Pendidikan yang semakin mahal dan terjangkau untuk orang mampu, dan selalu menjadi hal yang dihindari oleh orang-orang tua tak bermampu. Anak-anak semakin liar, tidak terkontrol, padahal disampingnya ada universitas dengan dana timur tengah lengkap dengan segala warna-warninya dibangun atas nama idealisme pendidikan.

Ironis, ditengah kota yang katanya gemerlap, ada banyak wajah-wajah suram, putus asa atas rezki, dan nafsu memegang tali kendali, mencuri, menodong, bahkan di gedung-gedung atas nama pajak rakyat, berbondong-bondong manusia mengais jalan kenistaan dengan korupsi.

Para penduduk asli mungkin lari bersembunyi dari nasib yang katanya tidak membela mereka, ataukah mereka justru terlalu berfoya-foya disaat mudanya, disaat tanggung jawab belum lagi mereka sadari, hanya romansa kebahagiaan di atas rezki yang dikumpulkan bapaknya, dengan mengais-ngais pintu rezki, entah datang dengan tangan menengadah ataupun menadah, entahlah apa bedanya.

Tiga kalinya aku menghardik, anak kecil yang kulitnya direlakan hitam terpanggang matahari, tak mengerti arti belajar dari hardikan apalagi belajar dari realita, belajar menjadi maling kau!

Tiga kali kabel listrik putus terbeset benang gelasan, dan mereka hanya tertawa disaat bapaknya menghardik dengan muka mengamuk, entahlah apakah ini anak zaman sekarang? ataukah kita terlalu terlena dengan diri sendiri hingga lupa orang lain, yang perlu tahu dipersalahi ketika salah, dan dibenarkan ketika benar.

Anak-anak manja kolong langit, entah akan jadi apa mereka, perlukah selalu tertunduk lesu dikemudian hari, menyesalkan apa yang dilakukannya saat ini? Gema suara wirid selalu menyemarakkan hari, tetapi tak juga ada suara-suara yang mengetuk hati mereka, jika kau tinggal di bawah langit, lalu siapa diatas sana?

Idealisme kaum revolusioner yang tak pernah sampai diwujudkan, mengambil tanggung jawab atas anak-anak kolong langit, untuk berpendidikan, memperoleh derajat yang sama untuk berusaha, beraspirasi dan berkelana dengan kesuksesan, walaupun takdir berkata lain nantinya, setidaknya mereka (dan kita) berusaha mewujudkannya.

Leave a Reply