Tak pernah berubah
Seseorang kawan mengatakan saya berubah, tapi saya berfikir tidak juga, saya hanya mencoba menahan diri atas kebimbangan, atas keraguan, atas kenakalan, keinginan atas sesuatu, perilaku mengatasnamakan kebebasan yang tidak akan pernah diperoleh manusia, karena kebebasan yang berlebihan menjadikan manusia merebut kebebasan manusia lainnya, atas cara berfikir yang menyatakan “we feel free to doing anything”, sedangkan dalam sekat-sekat hubungan antar manusia terdapat etika, dan jika yakin beragama memiliki porsi kausalitas, tidak pernah ada kebebasan untuk manusia-manusia yang menyadari siapa dirinya, dan siapa tuhannya.
Akan tetapi hal tersebut absurb, dalam tingkat keragaman berbahasa dengan bahasa manusia, kebebasan didapatkan ketika kebebasan manusia lainnya tidak terengut, sebanyak apa variabel yang akan dimasukkan dalam pertimbangan manusia memikirkan akan kebebasannya, sampai tingkatan absurb bukan berarti menandakan manusia tersebut memiliki pendidikan yang tinggi, tetapi lebih kepada merenungi siapa dirinya, dan siapa tuhannya.
Apakah manusia berubah? Rasanya tidak, seorang kawan dulu pernah mencoba menceramahi saya yang bebal ini, apa yang membuat manusia tersebut jaya sebelum islam, maka hal itu pula yang akan menjayakannya setelah ia islam. Tertohok saya, ya benar, bukan Islam yang menjadikan manusia itu naik level kualitas maupun kuantitasnya, tetapi lebih kepada apa yang ditekankan Islamnya itu sendiri, manusianya, kesadaran manusia untuk menjadi absurb menuju tuhannya, seperti kata seorang rumi “man arafa nafsahu, arafa rabbahu”, menundukkan diri kepada aturan-aturan yang dibuat tuhannya, ibadah.
Sebelum menuliskan ini, saya sedang membaca “A Glimpse at The Life of Omar ibn Al Khattab”, didalam buku itu tertulis apa-apa yang menjadi kelebihan omar pada saat sebelum dia islam, Omar adalah pemuda yang diandalkan dalam kaumnya, sebagai juru negotiator (negotiator pada zaman dulu tidak mengenal istilah menusuk dari belakang, curang, dan sebagainya, hal yang sulit kita jumpai dimasa ini), salah seorang pemimpin pasukan, tetapi ada satu hal yang jarang kita sadari, budaya arab yang dahulu, memiliki budaya metafor, budaya berpuisi, berpantun, dan Omar adalah salah satunya, keberanian yang disertai dengan kemampuan berfikir. Sehingga tidak salah ketika disaat ia Islam, ketika Rasulullah membuat hukum dimana hukum tersebut belum diwahyukan oleh Allah, pandangan-pandangan Omar banyak terlihat genuine, hal yang sama terjadi pada sahabat-sahabat lainnya, keadaan mereka sebelum mereka Islam juga ditunjukkan oleh sejarah, bahwa mereka manusia-manusia luar biasa, bagaimana Abu Bakar yang memang rendah hati, Ustman yang dermawan, Ali yang lemah lembut dan pengiring Nabi. Mereka melakukan sesuatubukan karena Islamnya, tetapi mengubah arah melakukan untuk apa? Hal yang kita lakukan bisa jadi sama, tetapi niat lillahita’ala yang menjadikan hal ini abadi hingga akhirat. Seperti kata Khalid bin Whalid, ketika pada masa pemerintahan Omar diregenerasi dari Jenderal Pasukan, Khalid tidak bersedih ataupun marah, justru mengatakan “Aku melakukan ini bukan untuk Omar”.
Untuk dunia yang lebih baik, semua manusia harus menjadi manusia yang baik. Dan Muslim pun harus menjadi Muslim yang baik.