Bpk. Abdul Gawi, dan Insan Cendekia sebuah memori atas pelajaran dedikasi
Bpk. Abdul Gawi, ingatan saya tidak pernah lepas dari sosok beliau. Pembawaan beliau tenang, dan ketenangan beliau yang akhirnya menjadikan saya segan jika berhadapan dengan beliau.
Seperti anak-anak remaja lainnya, waktu dihabiskan untuk meluapkan tenaga, bermain bola, pemberontakan, klaimasi menjadi orang yang tidak ingin diatur, idealis, juga satu yang paling membuat saya berurusan dengan guru-guru, perasaan untuk tidak ingin dibodoh-bodohi, saya menjumpai ini semua, setidaknya pengalaman pribadi bagaimana saat seorang saya sakit, dan tidak ada yang percaya, bagaimana 3 orang guru datang memeriksa kamar untuk memastikan hal tersebut, dengan membawa tongkat kasti, muka curiga dan pernyataan untuk hadir setelah waktu istirahat sekolah saya kira wajar melihat determinasi saya waktu itu, bersama kawan-kawan mungkin kami tidak melakukan hal yang salah, tetapi posisi kami pada saat itu mungkin meresahkan guru-guru kami, mungkin dalam hatinya terfikir “mau jadi apa anak ini nanti?”
Perasaan tidak ingin dibodoh-bodohi ini akhirnya menjadikan saya mencari legalisasi perlindungan atas gerak gerik saya, itulah awal saya menghadap Bpk. Abdul Gawi, saya memberikan surat pernyataan bahwa saya meminta izin keluar dimana surat yang ditanda tangani beliau absah selama tiga bulan, jika mengingat hal tersebut, membuat saya tergelak, malu meladeni tingkah “konyol” yang saya rasa tidak perlu diladeni waktu itu.
Akan tetapi awal cerita bukan disana, waktu menjadi ketua Palasic (pecinta alam/pramuka) saya mengajukan proposal kegiatan yang memiliki anggaran 10x dari anggaran kegiatan rutin osis. Waktu itu pembina, pak Jalil menghibur saya dengan perkataan yang masih saya ingat “saya saja yang mengantarkannya kepada bapak Gawi (mungkin karena waktu itu anggaran tersebut termasuk tidak realistis), tetapi kamu jangan terlalu berharap jika diterima”. Hmmm, mengkhawatirkan juga awalnya, tetapi setelah beberapa waktu pak Jalil kembali dengan perkataan “duitnya bisa diambil di TU” (dengan perasaan tidak percaya, atau saya saja yang merasakan bahwa pak Jalil tidak percaya dengan diterimanya anggaran tersebut). Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa anggaran tersebut bisa diterima yang menjadikan kami berkemah di Gunung Bunder selama beberapa hari, tanpa mengeluarkan biaya apapun. Tetapi kadang saya terfikir sampai sekarang, yang pada akhirnya mempengaruhi cara saya membuat proposal atau anggaran, “buat dengan sejujur mungkin”, percaya atau tidak, saya tidak meletakkan pada saat itu porsi “dan lain-lain/anggaran cadangan”, dan saya menuliskan dari biaya transportasi 400rb rupiah sampai tali rafia 15o rupiah, dan saya terfikir tali rafia ini yang menyakinkan beliau.
Pernah suatu ketika, kami siswa bereksperimen dengan kenakalan, setelah waktu isya selesai, kami mengambil bola, dan bermain bola di lapangan upacara, sedangkan dilapangan tersebut terdapat lampu-lampu taman yang rawan pecah. Kemudian beberapa saat kemudian pak Gawi baru selesai dari kantornya, beliau memanggil saya “Anto”, kemudian saya mendekat dan beliau mengingatkan akan kecerobohan kami bermain bola dimalam hari (bahkan tengah malam) dengan penerangan seadanya di lapangan pavling block yang tidak rata, dan kemudian saya menjawab khas anak muda revolusi yang menenangkan soekarno waktu peristiwa rengasdengklok, “tenang saja pak, jika lampu ini pecah, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya”. Dan aneh bin nyata, beliau hanya mengatakan “baiklah” sembari meneruskan perjalanan pulang ke mess beliau.
Sebagai anak didik, satu hal yang saya dapatkan dari beliau dimana pada saat itu saya tidak mendapatkan dari orang lain, yakni “kepercayaan”, dan dengan kepercayaan itu saya berusaha menjaga bagaimana rasanya diberi kepercayaan, percaya atau tidak, saya yang anak kecil waktu itu terasa seperti seorang prajurit berani mati yang siap diberi perintah oleh komandannya untuk bertempur digarda depan, hanya untuk menjawab sebuah kepercayaan.
Saya selalu suka menunggu beliau datang dipagi hari, biasanya hari senin, datang dari rumah beliau di Depok, baik dengan dihantar, ataupun naik angkot kemudian masuk dengan ojek, maklum usia beliau yang tidak lagi muda, datang dengan tas jinjing warna hitam, dengan baju seragam hijau. Membuat saya percaya idealisasi dalam tataran realita adalah pilihan semua orang untuk mencapainya, sosok Umar Bakri tanpa sepeda butut dengan Tas dari kulit buaya. Lagu yang menjadi thesis saya atas idealisme disaat SMP, berkumpul dibawah pohon dengan gitar seadanya dan bernyanyi dengan teriak seadanya bait-bait yang kami hafal, Laju sepeda butut dijalan berlubang, memang begitu dari dulu sejak zaman jepang… Bapak Umar Bakri kaget bukan kepalang… lalalala…
Beberapa tahun setelah tamat dari Asrama saya diberikan pertanyaan, siapa sosok yang berjasa menjadikan saya seperti ini? dalam salah satu forum keakraban, spontan saya teringat beliau.
Hari ini saya berjumpa beliau, ketika berjumpa beliau langsung menyapa “Anto”, 7 tahun yang lama dengan panggilan yang sama… Haru… bagaimana tulang-tulang yang saya lihat sulit lagi untuk menopang berat tubuhnya beliau masih juga ceria dengan semangat yang sama, kemudian beliau bercerita “cucu saya ada yang masuk Udayana, kemudian saya teringat anto”… Saya diam saja, kepada bapak yang berdiri disampingnya saya mengatakan, saya adalah anak nakal yang sering diberi kesempatan untuk belajar oleh beliau… Kemudian beliau kembali berkata “kartu Ucapan Lebarannya, saya dikirimi terus ya…”
Dan ini membuat keharuan saya bertambah, dulu saya pernah terfikir, jika kartu ucapan lebaran saya yang tidak terjawab, adalah jawaban atas hilangnya kesempatan saya untuk berterimakasih karena tuhan tidak memberikan lagi masa kepada kami untuk berjumpa. Ya pak, kepercayaan itu yang menjadikan pertanyaan bapak atas “sudah berapa tahun kamu ngurus” tidak pantas saya jawab, karena hal tersebut bukan waktu yang pantas saya ucapkan dibandingkan dengan apa yang sudah bapak perbuat.
Terima Kasih lagi pak, anak nakal ini belajar banyak atas kepercayaan yang diberikan oleh seorang tua yang mengajarkannya banyak tentang kepercayaan.