Retorika
“Benarkan kawan, aku sangsi, bukan atas mu, tapi kondisi dan momentum”
Seorang kawan mencoba turun dari atas gunung, katanya hendak memberikan angin segar dalam perpolitikan, tapi rasanya terlalu retoris, evolusi yang terstruktur bisa digantikan dengan revolusi yang terstruktur, kerugian yang minim yang bisa terjadi karena kecerobohan pelakunya.
Tetapi kita kembali beretorika, apa yang diperebutkan oleh para calon legislator ini? Uang dihamburkan tanpa jejak, bukan atas nama waqaf, shadaqah ataupun sesuatu yang bernilai. Entah dari mana rumus, bahwa akan ada satu manfaat minimal yang terhasilkan dari upaya tersebut.
Tak ada program jelas, tak ada jejak rekam yang terngiang secara jelas, apa yang akan dilakukannya. Retorika ini seperti sudah menjebak kita, tak ada jalan mundur atau memperbaikinya, tak ada pola baru yang bisa di adaptasi maupun pola lama yang bisa di amputasi, retorika yang akan menyeret bangsa ini dalam kuburnya.
Tak salah jika para punggawa bangsa kita sudah mengingatkan jauh-jauh hari tentang upaya toleransi terhadap pengkondisian awal yang beranggapan bhinneka tunggal ika adalah sebuah homogenus dan memperbaiki demokrasi dengan mulai menafsirkan secara gamblang heterogenitas dan identitas real dari setiap suku bangsa yang ada di dalamnya. Tapi ternyata retorika ini kembali menyesatkan kita jauh, tanpa tahu siapakah diri kita sebenarnya.
Bangsa yang terjebak dengan pikirannya sendiri.