Penutup Proposal Mubes IV IAIC
MUBES pada dasarnya adalah sebuah mekanisme pengkritisi dalam tubuh organisasi, akan tetapi dalam IAIC, MUBES lebih identik dengan kegiatan reuni besar antar angkatan, atau dengan poin terbesar pada penjalinan silaturahmi.
Tanpa mengurangi sudut pandang akan poin tersebut, kami melihat efektifitas dan efisiensi dalam MUBES harus ditata dengan baik. MUBES sebagai kegiatan formal yang sudah diungkapkan diatas harus ditekankan kembali, dan sebagai kompensasinya, penjalinan silaturahmi harus di fokuskan pada kondisi yang lain, misal reuni akbar. Akan tetapi karena keterbatasan yang IAIC punya, maka dua hal tersebut di atas tidak dapat dilakukan sesegera mungkin, diperlukan tahapan hingga tercipta sebuah interaksi formal dan interaksi yang lebih sedikit informal dalam satu siklus wadah yang sama, yakni IAIC.
MUBES kali ini diarahkan hampir sama dengan MUBES-MUBES sebelumnya, akan ada acara pembekalan yang diisi oleh pihak-pihak yang tahu tentang eksistensi Insan Cendekia yang awal, karena disana terletak impian-impian dan harapan-harapan yang diletakkan pada kami, yang menjadikan kami terus menatap tegar untuk mewujudkannya, sekali lagi ini bukan hal yang ordinary, mengutip novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata.
“Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpimimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!!”
‘Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati…”
”Mendahului nasib! Dua kata yang menajwab kekeliruanku memaknai arah hidupku. Pesimistis tak lebih dari sikap takabur mendahului nasib.”
Idealisme Insan Cendekia yang melahirkan Insan-Insan Cendekia yang harus melek terhadap perkembangan dunia, dinamika masyarakat dan eksistensi agama. Persoalan tersebut menajdi sulit ketika kaki-kaki prematur kami menginjakkan kaki pada sebuah dedikasi tanpa batas yang dipandang sebagai tindakan bodoh oleh orang kebanyakan. Situasi logis dari membran otak kami mengisyaratkan satu tambah satu adalah dua, tapi sebuah efek dari lillahi ta’alla, menjadikan ”barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, Allah bersamanya…”, atau dengan kata lain ini yang menjadikan kami lebih memilih tidak bernaluri dan berlogis ria dengan apa yang kami hadapi, rasa lebih penting, banyak sedikit air laut hanya asin yang orang tahu, banyak sedikitnya madu, hanya manis yang teringat. IAIC banyak sedikitnya hanya manfaat bagi orang banyak yang kami kejar. Jangan lihat apa yangtelah kami lakukan, tapi lihat perubahan-perubahan dan manusia-manusia yangterinpirasi dari tekad dan gerak-gerik kami, dan mereka sudah lebih dari cukup mengartikan eksistensi IAIC.
Semoga ada pihak-pihak yang mengerti manfaat langkah proses yang harus kami lalui ini sebagai proses dari perwujudan cita-cita Insan Cendekia yang menghasilkan calon-calon pemimpin masa depan Indonesia yang menjadikan fungsi IAIC mengukuhkan konsistensi penghasilan tersebut agar SDM-SDM tersebut masih pada jalur yang seharusnya, dari pada hanya sekedar kegiatan rutinitas MUBES yang dilihat dengan kaca mata kuda.