pelataran serambi sebelah
di pelataran itu aku bertanya pada diriku
aku lapar
ingin memasuki serambi dengan pelayanan wah masakan papan atas katanya
atau serambi dengan tenda yang hampir membusuk, dengan tetes air hujan yang tak tertadah
ku putuskan iba hatiku pada kain kumal peletak gambar ayam, bebek, lele dan tempe tahu
makan sekedar atau sekedar makan, entahlah ku mungkin hanya paham sekedarnya
“paha bebek satu bu”
“eh, ganti paha ayam bu” ujarku
sambal terasi, campur cabai yang mungkin serpihan cabai pinggiran penjaja pasar
nasi uduk dengan bawang goreng, dengan kuah tetesan air hujan dari tenda yang tak lagi kekar
duduk sama lusuh dengan para pencari makan
santap malam penuh riuh
beralaskan sandal jepit dengan kain celana sedikit dilipat curiga akan basahnya hujan
malam ini, serambi pelataran sebelah
satu kata terakhir
“kenyang”
idiomasi dari perut bangsa yang kelaparan