Apakah Mawaris bisa diberlakukan terbalik terhadap Hutang

Dalam FIQH Mawaris, pada saat “teng” orang meninggal, segala hartanya (termasuk hutangnya) diperhitungkan oleh ahli warisnya, dan dibagikan haknya kepada para ahli waris. Adapun dalam salah satu sunnah yang dijadikan rujukan FIQH Mawaris, besarnya permintaan (atau dikenal dengan surat warisan) untuk peruntukan oleh yang meninggal, maksimal sepertiga dari besarnya harta warisan. Akan tetapi sebagai pertimbangan budaya, etika, kebiasaan, maka perhitungan tentang harta waris ini diperbolehkan menunggu hingga situasi tenang, dan para ahli waris sudah siap baik mental maupun fisik, akan tetapi yang perlu dicatat adalah hal ini tidak menjadikan hak tersebut hilang. Adapun kenapa hak warisan itu hilang, terdapat pula aturan FIQHnya.

Hak-hak bagian dari para ahli waris telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam AlQuran, dimana salah satu yang populer adalah bagian laki-laki dua kali dari bagian yang perempuan, dsb.

Jika harta warisan diperhitungkan dalam mawaris, lalu bagaimana dengan Hutang terhutang? Kalau ingin menggunakan salah satu logika jawabannya sederhana saja, jika Harta berlebih manusia saling berebut, dan Hutang manusia saling meninggalkan, akan tetapi lihat pada sisi orang yang meninggal, apakah baik bagi jenazah untuk meninggalkan hutang di dunia?

Saya membaca buku Prof. Bustanul Arifin yang juga masih merupakan kakek (mamak) dari saya, dan sebagai saksi ahli yang sangat menentukan keputusan hakim pada saat persidangan Hutang HM.Soeharto (Almarhum Presiden RI III), dimana beliau menyampaikan sistem pengadilan Indonesia yang pada umumnya menerapkan berkas perkara terpisah pada persidangan umum dan persidangan agama, sehingga pada kasus perdata tersebut, persidangan umum tidak bisa memproses bahwa tergugat HM.Soeharto yang kemudian meninggal dunia, dapat diproses lebih lanjut kepada ahli warisnya.

Kembali pada bahasan diatas tentang apakah mawaris dapat diberlakukan terbalik, tentu kita menunggu ijma ulama tentang hal ini, dan menurut hemat saya satu perkara “mungkin” bisa di interkoneksikan melihat kondisi peradilan Indonesia yang terpisah, sehingga perkara seperti perkara HM. Soeharto tersebut dapat diselesaikan dengan tiga tahap Peradilan Umum (penentuan tergugat terhutang) – Peradilan Agama (penentuan kewajiban waris hutang terhadap ahli waris) – Pengadilan Umum/Pengadilan Agama (penyelesaian kasus).

Apakah hal ini dapat diberlakukan semisal terdapat kasus serupa dikemudian harinya? Seharusnya jika saya membaca apa yang dimaksudkan dalam poin Prof.Bustanul tersebut dalam bukunya, tentang gagasan Hukum Nasional, hal tersebut dapat diwujudkan, atau menggunakan rekondisi dimana perkara-perkara dalam peradilan umum dapat di interkoneksikan ke peradilan agama. Permasalahannya kemudian, apakah ada ahli hukum yang menguasai kedua permasalahan tersebut?

Leave a Reply