Politisi Juga Manusia

ini hanya sebuah catatan dari salah satu ruang diskusi, tak ada niatan buruk apapun
hanya pertanyaan dari pernyataan
dan saya mencatatnya…

Indra Piliang

Supaya terkesan tidak sekadar hanya menjawab singkat beberapa pertanyaan, dan mumpung masih punya waktu, sekalipun badan panas dingin, batuk, setelah tiga hari di lapangan, menempuh perjalanan panjang, sampai dini hari dan bahkan pagi baru tidur karena bertemu banyak orang, saya ingin mengatakan sesuatu tentang politisi.

Selama ini orang-orang di kampung saya menilai politisi dengan pandangan sinis. Kenapa? Karena setelah duduk di kursi kekuasaannya, banyak politisi meninggalkan masyarakat di daerah pemilihannya, hanya datang sekali dalam lima tahun. Ini catatan yang penting sekali.

Masyarakat dikecewakan, karena mereka tidak merasakan kehadiran politisi itu, setelah pemilu usai. Sementara, bagi politisi, barangkali persoalannya adalah mereka harus mengatakan: “Sejak dilantik, saya adalah wakil rakyat, bukan lagi wakil partai saya atau wakil daerah tempat saya dipilih.”

Ada beberapa politisi yang karena satu dan lain hal, pindah daerah pemilihan. Atau tidak lagi mencalonkan diri lagi, baik karena memang tidak merasa perlu mencalonkan diri atau karena politisi itu tidak dicalonkan oleh pengambil keputusan di dalam partainya. Yang pindah daerah pemilihan tentu meninggalkan konstituen yang mereka (telah) bangun. Sementara yang sudah merencanakan untuk tidak mencalonkan diri lagi, maka selama lima tahun menghilang dari daerah pemilihannya, apalah lagi ingin mengabdi.

Ada juga beberapa politisi yang patah arang, setelah “berjuang” selama beberapa tahun di daerah pemilihan yang dia incar, tiba-tiba mendapatkan nomor urut sepatu atau tiba-tiba tidak dicalonkan oleh partainya, atau ditempatkan di daerah pemilihan lain. Partai, bagaimanapun, adalah perkumpulan dari sejumlah politisi juga. Upaya saling mempengaruhi, saling menekan, sampai juga saling menyingkirkan, juga dilakukan. Faksi, ideologi, kepentingan, saling bersaingan.

Maka, saya menjawab dengan dingin setiap sms yang datang atau email yang mampir yang mengatakan:

Pertama, dengan menjadi politisi, anda sudah berubah! Saya katakan, memang saya berubah, dari non partisan menjadi partisan, dari non politisi menjadi politisi, dan sejenisnya.

Kedua, dengan menjadi politisi, anda oportunis! Saya katakan, memang saya oportunis. Del Piero dan Inzaghi juga oportunis di lini depan Italia. Dalam setiap celah kehidupan, manusia dituntut untuk oportunis.

Ketiga, dengan menjadi politisi, anda berarti masuk lingkaran kekuasaan dan mencari kekuasaan! Saya katakan, memang demikian adanya. Setiap politisi mencari celah masuk lingkaran kekuasaan. Memang ada politisi yang tidak ingin berkuasa, lewat partai apapun, kiri atau kanan?

Betapa terbatasnya bahasa yang dimiliki oleh para pengkritik politisi. Yang mereka gunakan adalah paradigma ketika seseorang itu belum menjadi politisi. Paradigma, defenisi atau kacamata yang mereka gunakan tidak sesuai dengan realitas yang diamati.

Ketika saya dengan “emosi” membela Partai Golkar di TV One dalam acara debat menghadapi Partai Hanura, banyak sms yang masuk, termasuk dari teman-teman partai lain. “Anda dulu menentang Partai Golkar, sekarang membelanya. Dulu anda objektif, sekarang subjektif. Dulu anda begitu dingin, membedah segala persoalan dengan uraian yang mencerahkan, sekarang anda begitu emosional. Etc!”

Saya justru yang kebingungkan dengan pernyataan atau protes-protes itu. Politisi harus membela partainya, kalau partainya diserang. Politisi harus menjelaskan capaian-capaian keberhasilan partainya, ketika partai lain mengatakan tidak satupun yang telah dilakukan oleh partainya itu. Politisi bahkan wajib menyerang partai-partai lain dengan data-data yang dimiliki. Politisi layak membangun militansi atas partainya.

Apakah saya salah melakukan itu? Apakah justru saya harus mencerca partai saya sendiri, seolah-olah saya bukan bagian dari partai itu? Apakah saya bahkan harus tetap mengatakan: “Saya independen!”, justru ketika telah mengenakan baju partai politik?

Politisi yang buruk adalah politisi yang mencerca partainya sendiri, ketika dia tidak lagi berada di dalam partai itu. Ups, tunggu dulu, kalau sekarang saya berbeda pendapat dengan PAN, misalnya, itu bukan dalam artian saya mencerca KETIKA SAYA ADA DALAM PAN. Sejak keluar dari PAN tanggal 21 Januari 2001, saya tidak pernah menceritakan apapun yang negatif tentang PAN. Bahkan saya menjadi sangat akrab dengan “mantan-mantan lawan politik” di PAN. Dan berkali-kali saya datang mengisi kegiatan apapun di dalam PAN. Dalam pendaftaran di KPU, teman-teman PAN mengatakan kepada pimpinan Partai Golkar: “PAN menitipkan IJP kepada Partai Golkar!”

Maka, menurut saya, adalah hal yang sulit diterima apabila ada banyak politisi yang menyerang bekas partainya ketika dia berpindah ke dalam partai lain. Aib partainya sendiri dibuka seterbuka mungkin. Saya salut dengan teman-teman Partai Matahari Bangsa yang mengatakan kepada saya bahwa mereka bukanlah “Partai sempalan PAN”. Mereka sedikit sekali mengungkapkan hal-hal yang negatif tentang PAN. Fokus mereka satu: memenangkan pemilu 2009. Tentu saya juga senang dengan sikap-sikap fairness yang ditunjukkan olh teman-teman PAN yang sangat akrab dengan saya. “Kami akan berikan lawan berat di dapil anda!” itu dikatakan oleh Viva Yoga Mauladi, begitu juga oleh Pak Jafar dari Partai Demokrat.

Partai, lagi-lagi, hanyalah baju. Yang terpenting adalah manusianya. Apabila seluruh manusia dalam partai politik sudah memiliki keunggulan, maka dengan sendirinya soal sistem politik tidak lagi menjadi masalah. Penyederhanaan partai politik tidak lagi perlu. Bahkan, tidak perlu lagi ada politisi.

Ketika menjadi pengamat, seringkali saya mengungkapkan pengamatan harian. Dan saya mulai menyadari bahwa menjadi politisi tidak bisa seperti itu, walau juga perlu sesekali berbicara. Mungkin karena itu banyak politisi yang memilih diam, ketimbang berkomentar. Sekarang, saya merasa “terbebas” dari pertanyaan-pertanyaan harian itu, seperti: “Apa arti kehadiran Pak Taufik Kiemas dalam Silaknas Partai Golkar? Kenapa SBY tidak bersedia hadir?” Tugas politisi tidaklah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Tiga hari saya di lapangan, tiga hari itu juga beragam hal masuk dalam memori saya. Tidak semuanya menyenangkan, sekaligus juga tidak semuanya buruk. Ada yang betul-betul sudah saya ketahui untuk dihindari, tetapi untuk sekadar membuktikan, tetap saja saya turuti. Selama ini, itu hanyalah “pengetahuan”, sekarang adalah pengalaman.

Misalnya, dilarang mengundang teman-teman untuk makan-makan di warung makan umum. Saya tetap lakukan. Apa yang terjadi? Harga-harga naik, bahkan bisa sampai tiga kali lipat. Aneh, masyarakat langsung “menyesuaikan diri” dengan kehadiran politisi. Sosok politisi dianggap memiliki banyak uang, sehingga harus diuangkan. Dan apapun jabatan “publik” dari orang-orang itu, tetap saja dengan satu pandangan: dari politisi, kami harus meraih keuntungan.

Ini soal sederhana, tetapi sangat luar biasa mempengaruhi mentalitas masyarakat. Dan karena ini soal sederhana, lain kali saya membuat dapur umum sendiri di posko-posko yang saya bentuk. Silakan anda makan sepuasnya, karena yang anda nikmati paling sebungkus indomie, telor itik, atau ikan asin. Politisi juga manusia…

Leave a Reply