Menatap ke Depan
Apakah masa lalu dapat dilupakan? Sedangkan masa kini terjadi karena fluktuasi di masa lalu.
Tak ada yang minta dilahirkan dengan beban dipundaknya, dengan keadaan yang tidak diinginkannya, dengan kondisi yang sukar dinalarnya, tetapi inilah Tuhan menuliskan takdir setiap manusia dalam genggamannya.
Alkisah tentang seorang anak manusia yang terlahir tidak sempurna, kehilangan masa muda ditengah keluarga karena hilang di tanah suci mekkah pada usia sekitar 12 tahun, menuai tangis dan luka pada lubuk sang ayai (bunda), kemana tangis hendak disampaikan dan kemana panjar hendak diminta?.
9-10 tahun kemudian anak muda ini muncul, dan selama itu pula cerita-cerita orang kampung yang berhaji memberikan secercah harapan yang disusul dengan tangis yang membuncah ketenangan kampung, ayai merindu anaknya yang hilang, anak ini muncul bersama dengan kembalinya para haji-haji yang menjadi pilar pembaharuan pemikiran Islam dengan gerakan Sumatera Thawalib.
Bertemu dengan abangnya Syekh Mustafa Abdullah, menjadikan Syekh Abbas Abdullah muda giat mengembangkan Pendidikan Islam dengan pengalamannya selama berguru dengan Syekh Ahmad Khatib yang sering membaginya bukan hanya ilmu agama tetapi juga pengetahuan diluar itu, seperti pemikiran pergerakan islam yang berkembang dewasa itu.
Surau Gadang Padang Japang yang dipimpin oleh ayahnya Syekh Abdullah, salah satu yang tersisa dari ulama-ulama paderi yang memberikan perubahan besar dalam struktur adat Minangkabau, yakni lahirnya ABS-SBK, Adat Bersendi Syarak – Syarak Bersendi Kitabullah. Surau ini kemudian berkembang dengan sistem kelas, pengajaran ilmu-ilmu sosial seperti yang disebutkan diatas, melahirkan sistem pendidikan untuk kaum perempuan (Nahdatun Nisa’iyah).
Apakah cerita akan usai? Setelah hampir dua generasi, sejarah ini terbungkam.
Cerita tak perlu berakhir karena setiap harapan dan mimpi diteruskan perlahan dengan hembusan angin yang menyejukkan, dirangkai supaya serima dengan langkah hidup yang akan menjemputnya kelak.
Abdullah, nama yang diberikan oleh kakek saya untuk abang saya, tetapi takdir memang menentukan langkahnya, surat pos itu terlambat, sejenak setelah abang saya di aqikah.
Masa Depan itu bukan untuk saya, itulah gumam saya pada suatu hari, bagaimana mungkin harapan di embankan pada seorang anak muda yang tak pandai membatasi mimpi? Bagaimana mungkin?
Pada satu kondisi tekanan itu terasa berat, harapan dan mimpi dihempaskan, yang ada hanya rindu seorang anak kepada atuk-nya, abah-nya yang tak pernah dikenalnya, yang seolah-olah hadir selalu mengasupnya cerita-cerita dan mimpi-mimpi yang belum usai.
Ayah berkata, pepatah nasehat dari ninik mamak dahulu, hidup ibarat memahat, buek garis lalu dipahek (dibuat garisnya lalu dipahat). Dan sampai sekarang ayah masih tersenyum dengan garis yang saya buat.
Esok adalah waktunya awal dari menciptakan mimpi. Jika memang Tuhan merestui, maka inilah takdir untuk menatap ke depan. tanJabok