Luka Panjang Agama dalam Adat Budaya Minangkabau

Adat Budaya Minangkabau dan Islam ibarat sebuah sumbu minyak, yang bila ditelusuri akan ditemukan bahwa Adat Budaya telah basah direndam dalam Syariah. Akan tetapi tetap timbul pertanyaan, kenapa dalam fakta dan realita hal tersebut tidak terlihat dengan mata telanjang, terkecuali simbolisasi dari tingkat individu hingga massif. Kemudian muncul sebuah thesis, apakah perkembangan ini adalah sebuah siklus usaha, yang berarti hal tersebut belum di selesaikan, atau ini adalah sebuah produk yang telah sampai pada titik akumulasi tertinggi dan perlahan menurun tajam hingga menjadi absurbitas.

Ini seharusnya menjadi kajian banyak pihak, di mulai dari para ahli keilmuan, ulama, hingga pemangku adat. Karena realita saat ini jelas menunjukkan masyarakat secara bergotong royong memanfaatkan celah-celah kosong akibat penurunan manifes kolaborasi antara syarak mengato dan adat memakai.

Bila kolaborasi ini hancur, maka pepatah “indak lakang dek paneh indak lapuak dek hujan” hanya akan tinggal slogan, karena dalam salah satu persepsi dikatakan budaya akan hilang disaat para pemakainya juga hilang, dan nampaknya inilah yang akan terjadi.

Jika kolaborasi antara adat dan agama sudah diintegrasikan sejak dahulu kala, tentunya setiap pengambilan ijtihad yang kerap disimbolisasikan sebagai kato/kecek urang-urang tuo memiliki asbabun nuzul yang berhulu pada agama, lalu yang menjadi kritik tajam, apakah hal ini berjalan saat ini?

Kerap kali tameng dek kato urang-urang dahulu menjadi tameng dari tidak adanya upaya-upaya para ninik mamak mengeluarkan ijtihad baru. Jika agama kerap kali dipertanyakan kesesuaiannya dengan kondisi zaman, terlebih lagi adat yang berprinsip memakai dari syarak yang mengato. Bukankah begitu?

Leave a Reply