Pincangnya Kaki Sang Pendidik
Kemana lagi kita mesti memutar untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia? Mungkin pertanyaan ini pantas kita tanyakan kepada diri kita sendiri, pemerintah, baik daerah ataupun pusat, masyarakat, dan para cerdik pandai kita.
Murah bukan Solusi
Sudah menjadi rahasia umum pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang memiliki cost yang besar, ditambah pula jarak tingkat pendidikan yang berusaha dicapai dengan kondisi riil masyarakat yang ada, pastinya akan memiliki biaya yang sangat-sangat besar.
Lalu kenapa dengan dalih pemerataan pendidikan, dilakukan pengorbanan dalam kerangka operasional, yang kemungkinan besar tidak disadari oleh pembuat kebijakan.
Sebagai contoh, sekolah-sekolah (madrasah-madrasah) negeri unggulan yang berbiaya besar, terpaksa menyesuaikan diri dengan birokrasi yang statis, yang berakibat pada penurunan biaya operasional guru, yang berimbas selanjutnya kepada mutu akademik siswa.
Entah sejak kapan sekolah murah, pendidikan murah menjadi alasan dan justifikasi bahwa pendidikan berbiaya murah bisa menjadikan masyarakat bangsa ini menjadi salah satu bangsa-bangsa pemimpin dunia.
Jikalau pendidikan bisa berbiaya murah, bagaimana dengan alasan para wakil rakyat menuntut biaya operasional yang terkadang tidak relevan untuk menunjang maksimalitas kinerjanya? Tentunya murah bukan solusi adalah kesimpulan, bahwa pendidikan murah bukan solusi untuk bangsa ini.
Nafsu atau Visi?
Naiknya minat pemerintah dan pemegang kebijakan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan Indonesia perlu diappresiasi besar. Akan tetapi upaya pembangunan yang lebih teridentifikasi sebagai nafsu besar tidak akan pernah bisa dihargai sebagai visi.
Pembangunan gedung-gedung megah yang berimbas pada kenaikan biaya operasional yang kemudian berimbas pada kenaikan biaya akademik, ini adalah lagu lama bahwa nafsu menjadi bumerang kenaikan biaya pendidikan kita.
Tengoklah bagaimana teknologi menjadi penguat adanya effisiensi dan effektifitas, tetapi dalam pembangunan indonesia, teknologi kerap kali menjadi sebuah harga diri penghargaan terhadap kemajuan.
Lalu timbul pertanyaan, kenapa di Indonesia teknologi menjadi antitesis dari effisiensi? Inilah bumerang, ketika Visi adalah kedok bagi Nafsu.
Budaya Pendidikan dan Swastanisasi
Visi Pendidikan akan dapat dicerna oleh khalayak umum ketika benar-benar berisi visi yang sederhana disertai oleh niat tulus. Budaya Pendidikan lahir dari kejelasan dan kesederhanan Visi tersebut.
Mari menengok kebelakang, dan kedalam. Upaya meningkatkan mutu pendidikan ke level internasional menjadikan kita lupa, bahwa kapal pendidikan memuati seluruh masyarakat bangsa ini.
Budaya Swastanisasi pendidikan bukanlah upaya yang populis, yang mampu dicerna oleh khalayak umum, dan upaya menjadikan pendidikan berlevel internasional, suatu saat dapat menjadi bumerang ketika appresiasi masyarakat tidak di akomodir.
Artinya suatu saat pendidikan melakukan koreksi pribadi atas tesis yang diusungnya terhadap hegemoni lakon tuan tanah dan pemodal dulu, jelas pula artinya pendidikanlah yang sebenarnya menjadi aktor pembuat lakon tuan tanah atau pemodal, dan mayarakat kelas pekerja.
Realistis dan Birokratis
Kebijakan-kebijakan pemerintah (birokrasi) sudah saatnya realistis, apakah bisa mendanai satu institusi pendidikan dengan biaya besar, sedangkan terdapat ketimpangan level pendidikan dibelahan wilayah lain.
Upaya pungli dan biaya yang tidak realistis dari institusi pendidikan bisa diatasi dengan sanksi, penutupan sekolah, meja hukum, dsb.
Apa bisa standar akademik yang tinggi ditopang oleh biaya operasional yang rendah? Apakah semua dana subsidi bisa tepat sasaran? Upaya peninjauan kelayakan, baik terhadap birokrasi, realita lapangan, level tenaga pengajar, harusnya diperhatikan lebih seksama, jangan hanya bermodal dana besar, upaya menaikkan mutu pendidikan bisa tercapai.
Abdullah Arifianto
Kelompok Studi Pendidikan ILC
Analis