Hak Kaum
tengoklah hari ini, hari lalu dan lampau, yang terisa hanya kebanggaan. harta pusako, sako, rumah gadang, dsb hanya dijadikan sesuatu yang diperebutkan. tanah luas yang terletak dilereng-lereng bukit saja diperebutkan apalagi bila pembangunan jalan raya sudah mencukupi nantinya, mungkin hanya akan teriak anjing-babi saja orang kampung ke sesamanya.
sikap bijak yang dipetantang petenteng di kitab sakti urang minang hanya sambalado basi aia matah saja… entah sejak kapan, sikap bijak sebagai satu kaum dipupus oleh sok gengsi kaum wanitanya. tengoklah bagaimana mereka berebut mendirikan lahan di sekitar rumah gadang, karena mereka menggunakan ktp “satu perut”, padahal hak (manfaat) atas harta-harta itu juga masuk ke urang-urang yang diundang masuk atau diayomi sebagai anggota kaum itu.
mungkin sajak manis yang dilontarkan itu tak ada gunanya bila hanya bernada duka dan murka.
kelapa yang dulu ditanam tidak seharga dengan jati yang ditanam disepanjang hutan di jawa. entahlah sejak kapan harga menjadi sang tuan tanah yang membonekakan semua yang memberhalakannya, tidak juga saya. gunung yang selalu dipetuahkan menjadi gunung sakti ternyata kalah oleh banyaknya gunung di nusantara, yah dongeng daratan selalu kalah oleh dongeng langit, setidaknya bagi manusia yang percaya pada tuhan.
hak masyarakat/ kaum/ komunitas harus diberikan, setidaknya itu menurut saya, atau itu akan mengilhami pemberontakan, pengacuhan terhadap norma dan hukum, bahkan hingga pada pelecehan pada adat itu sendiri, mungkin seperti yang saya lakukan sekarang, walaupun setidaknya ada niat baiknya.
entah siapa yang akan terilhami oleh tulisan ini, setidaknya dan selalu akan ada kata setidaknya, mampu menguatkan kembali kaki-kaki yang lemah itu. kepada para pemimpi yang memimpikan apa yang tidak dimimpikan orang lain, mimpi ini kubagi dengan kalian.